Play out in Tambora
“Allahuakbar…allah….huakbar…!!!” dengan lantang Zaidi member milis HC dari Malaysia mengumandangakan suara azan saat berada di puncak Gunung Tambora. Ya melihat bentangan pemandangan alam dari puncak Tambora ini terasa betul keagungan tuhan dan kecilnya kita dibandingkan dengan Nya. Menikmati kendahan dan pemandangan spektakuler dari kawah Gunung Tambora yang merupakan kawah kaldera terbesar di dunia ini, membuat perjalanan panjang dan juga cukup memacu kesabaran untuk mencapai puncak ini segera terlupakan.
Ya.. ini adalah perjalanan pendakian bersama highcamp yang kesekian kalinya semula yang daftar cukup banyak tapi pada saat pelasanaannya banyak juga peserta yang berguguran baik karena alasan pekerjaan dan urusan yang datang mendadak. Dan jadilah yang tadinya berjumlah 27 orang tersisa hanya 9 orang. Belum lagi pesawat kami dari Jakarta yang delay dan menyebabkan kami harus lari sprint di bandara Juada agar tidak tertinggal pesawat selanjutnya menuju Mataram, dan semuanya bisa berhasil dilalui berkat kerja sama tim yang kompak dari teman-teman seperjalanan. Dan tidak lama kemudian kami sudah berada didalam minibus yang bergerak meninggalkan kota Mataram menuju Desa Pancasila dimana titik awal pendakian ke puncak Gunung Tambora berada. Sampai di Desa pancasila pada keesokan paginya setelah menempuh perjalanan semalam suntuk dari Mataram, namun sempat sejenak menikmati sunset di selat Sumbawa sewaktu kami menyeberang dari pulau Lombok, terlihat puncak Rinjani yang mencuat berdiri.
Rute pendakian gunung Tambora banyak landainya namun berbelok-belok, dan untuk menyingkat waktu pendakian kami menyewa ojek motor untuk mengantarkan kami hingga ke batas hutan. Lumayan juga, karena bisa menghemat waktu dan tenaga, karena kalau ditempuh dengan jalan kaki akan memakan waktu kurang lebih 3 jam untuk sampai di pintu hutan. Tapi kalau dengan ojek motor hanya kurang lebih 30 menit. Dari pintu hutan hingga ke Pos I jalannya lebih cenderung datar dan sesekali menanjak melewati semak belukar dan onak berduri, banyak sekali terdapat tanaman pakis sayur yang bisa dipakai untuk sayuran, pakis sayur ini beda dengan pakis hutan yang berbulu dan berasa pahit. Memasuki daerah Pos II mulailah kami disibukan oleh binatang kecil penghisap darah, ya…. PACET cukup banyak populasinya di hutan Tambora, ini menandakan ekosistim hutan Tambora masih bagus. Bianatan kecil yang tak kenal menyerah ini selalu berusaha untuk bergantung di kaki kami, adalah Mba Endah yang paling rajin menghitung jumlah pacet yang menempel di kakinya, “ wah ada banyak juga ya mba” timpal saya saat dia memberitahukan jumlah pacet yang berhasil dia buang dari kaki saat memasuki kawasan Pos II. Kami memang berhenti sejenak di Pos II disini ada pondok kecil dan dibawah pondok ini mengalir sungai kecil berair jernih. Tidak berlama-lama di Pos II, karena tanjakan cukup terjal sudah menanti kami, juga teman kecil yang haus darah masih tetap ada karena wilayah kekuasaan mereka hinga ke Pos III. Jalur pendakian menuju Pos III tidak begitu menanjak hanya selepas Pos II saja ada tanjakan setinggi kurang lebih seratus meter, setelah itu lebih cenderung moderat.
Pos III sendiri merupakan sebuah areal yang cukup luas bisa menampung sepuluh tenda, disini ada sebuah pondok dan sekitar 300 meter kita akan menjumpai sebuahmata air. Pos ini biasanya digunakan sebagai areal basecamp oleh pendaki, mereka akan menginap di sini dan baru dini harinya melakukan pendakian ke puncak. Pilihan seperti ini dilakukan karena pos IV dan pos V tidak memiliki sumber air. Pos III ini kami capai saat jarum jam menunjukan pukul 5 sore. Saya, Zaidi, Saeful dan Ermil terlebih dahulu sampai dan tak lama kemudian menyusul teman-teman lainnya. Bergegas kami mendirikan tenda, karena sore ini tampaknya mendung berat menggantung. Siang tadi kami dihajar hujan yang cukup deras sewaktu perjalanan dari pos I dan kembali hujan turun sewaktu mendekati Pos III. Satu persatu tenda mulai berdiri, dan keriuhan canda tawa ala basecamp mulai mewarnai suasana sore dan sama-samar semburan jingga sore masih bisa terlihat di balik mendung yang menggantung. Canda tawa Zaidi dengan logat melayu Malaysianya terdengar menimpali canda dari si Yadoet yang di juluki Nhanha sebagai “mahluk liar Tambora”. Kompor-kompor sudah dinyalakan dan semua sibuk dengan tugas masing-masing, ada yang mengiris bumbu dan sayur, ada yang menggoreng dan Bli Ermil yang berasal dari Bali, sibuk memasak nasi sementara bibir nya juga sibuk berkicau dengan logat Balinya yang khas. Nando yang telah membikin gempar orang-orang di sepanjang jalan karena wajah nya mirip sekali dengan Bam Vokalis band Samson, tenyata pintar sekali memasak. Tidak lama kemudian berkat dikerjakan secara keroyokan akhirnya ‘dinner’ kami pun siap disantap.
Malam semakin larut, dan perlahan satu demi satu dari kami mulai masuk kedalam kehangatan sleeping bag masing-masing, masih ada yang bertahan berbincang-bincang dan bercanda, tapi saya sudah lelah sekali, entahlah mungkin karena sehari sebelumnya saya makan bakso dan pedas sekali sehingga membuat saya terkena diare yang cukup parah, dan ini membuat kondisi fisik saya turun drastis. Lemas sekali badan saat mendaki namun pesona Tambora agaknya yang telah memberikan kekuatan tambahan pada saya untuk tetap melangkah. Perlahan obrolan diluat tenda makin lama makin terasa sayup dan akhirnya saya telah terlelap dibuai pelukan malam di Gunung Tambora.
Suara mba Endah di tenda sebelah membangunkan saya, saya melirik jarum jam sudah berada pada angka 2 lewat. Kami memang berencana akan melakukan pendakian kepuncak atau istilah kerennya ‘Summit attack’ pada jam 2 dini hari, namun sepertinya akan molor sedikit dari waktu yang direncanakan. Setelah sarapan seadanya dan berdoa bersama yang dipimpin oleh Zaidi, kami pun perlahan bergerak menembus malam, iring-iringan kami jelas telihat lewat cahaya head lamp dikepala masing-masing. Tantangan yang bakal kami hadapi selepas dari Pos III ini adalah hutan jelatang. Jelatang adalah sejenis tumbuhan yang berbulu dan bila tersentuh kulit akan menimbulkan rasa sakit perih dan panas, rasa perih dan panas tersebut akan semakin terasa jika kita mengusap-usap kulit yang terkena sengatannya. Jadi jika tersengat dengan daun Jelatang, biarkan saja, sakitnya hanya sementara jangan di usap. Jelatang atau dikenal juga dengan sebutan “Daun Pulus” di Jawa Barat, ini banyak sekali terdapat di sepanjang jalur dari Pos III hingga ke Pos IV. Dalam gelap malam kami harus extra hati-hati melangkah agar tidak tersentuh daun jelatang yang ada dikiri kanan jalan. Tak lama kemudian kami sampai di hutan jelatang, ya… semua tumbuhan di punggungan ini semuanya jelatang, untunglah ada pohon tumbang yang menjadi jembatan titian kami melewati hutan jelatang tersebut. Namun bukan berarti kami semua selamat dari sengatan jelatang, sesekali kena juga bahkan menembus pakaian, dan rasa nya aduuuhh.. perih bercampur panas. Pos IV kami lewati saat hari masih gelap, dan sewaktu mencapai pos V langit sedikit sudah mulai terang dan kondisi medan pendakian sudah terbuka sehingga kita bisa memandang kearah laut tampak sayup-sayup pulau Satonda yang tidak begitu jauh dari pantai Labuan Kenanga. Semakin terus mendaki bias matahari pagi semakin terang dan disambut oleh suara kokok ayam hutan yang bersahut-sahutan ditambah lagi dengan kicauan burung, angin semilir menerpa daun cemara menghasilkan suara desau. Sungguh suatu simpony alam yang membuat pagi semakin segar untuk dinimati. Zaidi sudah duluan jauh didepan sementara saya dan Nando berjalan beriringan, dibelakang kami terlihat Bli Ermil yang terkadang sibuk dengan kamera videonya. Panjang memang etape dari Pos V menuju kawasan bibir kawah Tambora, jalannya berbelok-belok mengikuti kontur punggungan cukup membosankan tapi semua itu terbayar tak kala pandangan mata disuguhi dengan bentangan kawah raksasa yang sangat luas dan dalam… menakjubkan sekali, konon katanya butuh tiga hari untuk mengelilingi kawah ini, saya mencoba memperhatikan detailnya, diding kawah yang kok dan karena dalamnya kawah tersebut sehingga menghasilkan pemandangan yang menakjubkan. Didasar kawah tampak terlihat ada telaga genangan air berwarna kehijauan sebagai akibat dari belerang. Gunung ini masih aktif, terlihat dari asap sulfur yang keluar dari beberapa lubang kepundan kecil yang ada baik dinding dasar kawah maupun di dasarnya.
Seperti biasa naluri “Narsis” kami segera kambuh, sudah bisa ditebak kelanjutannya adalah foto-foto, saat itu baru ada saya, Nando, Zaidi dan Ermin yang baru sampai di bibir kawah, jadilah kami berempat mulai sibuk mengarahkan lensa kamera ke berbagai arah, luasnya kaldera Tambora ini tak mampu ditangkap utuh oleh lensa cameraku. Puas berada disini kami mulai melirik puncak yang berada disebelah kanan kami, dan saat melangkah kesana tiba-tiba kabut menutupi seluruh kawah, untung sebelumnya saya dah pernah tahu mendan Tambora ini jadi tidak terlalu susah untuk menemukan jalan setapak ke puncak.
Seperti biasa naluri “Narsis” kami segera kambuh, sudah bisa ditebak kelanjutannya adalah foto-foto, saat itu baru ada saya, Nando, Zaidi dan Ermin yang baru sampai di bibir kawah, jadilah kami berempat mulai sibuk mengarahkan lensa kamera ke berbagai arah, luasnya kaldera Tambora ini tak mampu ditangkap utuh oleh lensa cameraku. Puas berada disini kami mulai melirik puncak yang berada disebelah kanan kami, dan saat melangkah kesana tiba-tiba kabut menutupi seluruh kawah, untung sebelumnya saya dah pernah tahu mendan Tambora ini jadi tidak terlalu susah untuk menemukan jalan setapak ke puncak.
Dan begitulah, puncak kami capai sekitar jam delapan lewat seperapat. Masih berkabut, tapi tak lama kembali cerah tepat setelah Zaidi mengumandangkan Azan lambat laun seluruh kabut tersibak dan tampaklah pemandangan sosok kawah Tambora yang telah sangat besar, tidak heran jika letusan Tambora ini telah membuat eropah tidak mempunyai musim panas selama setahun dan ini juga telah membuat Napoleon kalah di Waterloo. Lama saya berdiri menikmati pemandangan yang spektakuler ini, gunung ini begitu termasyur karena sejarah yang ditorehkannya, beruntung rasanya bisa menjambangi lagi puncak gunung ini.
Satu persatu teman-teman kami mulai berdatangan, Fedy dan menyusul Nhanha, Mba Endah, Bang Kamser dan Yadi. Sementara kami yang telah dulu yaitu saya, Zaidi, Nando dan Ermil mengabdikan menyambut mereka dengan hangat. Seperti biasa kehebohan dari masing-masing dalam hal berfoto ria, melebihi para model-model kondang, foto keluarga bersama adalah hal yang wajib dan ditemani oleh spanduk dari para donatur kami yaitu CONSINA dan AVTECH.
Bahkan photographer kami yaitu Bang kamser yang membawa peralatan photography yang sangat lengkap dengan tele panjangnya sempat mengabadikan kami yang duluan sampai di puncak dari kejauhan, pasti hasil fotonya bagus sekali. Cukup lama kami menikmati susasana puncak Tambora dan akhirnya tiba waktunya kami kembali turun ke Pos III, dengan diiringi kabut tipis yang mulai merayapi kawasan puncak kamipun mulai melangkah turun. Malam ini kami akan bermalam di Pos III dan besok paginya baru turun ke Pancasila, dan langsung menuju tujuan berikutnya yaitu Pulau Satonda, pulau ini menjadi tersohor juga karena disini terdapat danau air asin satu-satunya didunia (belum ada data lainnya yang membantah anggapan ini). Saya melangkah mengikuti jalan setapak yang membawa turun dari kawasan puncak, dengan membawa kenangan akan pesona si gagah Tambora………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar